Mentari di ufuk timur telah merangkak keatas bertepatan tanggal 22 April 2013 di MAN Sabdodadi Bantul siswa dan Guru/Karyawan memperingati lahirnya ibu RA Kartini tanggal 21 April 2013 hari Ahad, namun karena sesuatu hal maka baru hari Senin peringatan kelahirannya dilaksanakan dan sekaligus upacara bendera. Siswa dan Bapak/Ibu guru karyawan
mengenakan pakaian tradisional Jawa gaya Yogyakarta, untuk mengenang jasanya akan saya nukilkan kisah Raden Ajeng Kartin.
mengenakan pakaian tradisional Jawa gaya Yogyakarta, untuk mengenang jasanya akan saya nukilkan kisah Raden Ajeng Kartin.
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21
April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan
yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia
tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh
orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil
sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena
takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan
buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian diya
di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi
kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar
dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang
dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih
menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia.
Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan
mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu
pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga
menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa
lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa
untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak
sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden
Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang.
Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita.
Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang,
Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi
sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan
antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 September 1904,
Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra
pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan
membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para
teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang
artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir
kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini
belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk
memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan
menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan
bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai
seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun
teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita
Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah
kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini
sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing
pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu
menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya
sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan
pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim
mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA
Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan
berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini
tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita
Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan
waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau
tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga
nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah
bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’
Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny.
Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di
daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa,
Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda,
pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang
dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui
organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa,
pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang
mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan
perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami
perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan
keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari
belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum
wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut.
Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan
penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
*) Wakija
MAN Sabdodadi Bantul
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking